sekedar pet crepet

Tuesday, July 31, 2007

Ada yang salah?

Kejadiannya sih sudah hampir dua bulan kemarin, cuma baru sekarang sempet cerita. Mumpung gak ada deadline yang musti dikejar.

Lupa ada acara apa, yang jelas hari itu aku pulang agak telat. Habis maghrib baru keluar dari kampus, dan gak ada tumpangan gratis ke rumah. Biasanya Pak Anang atau Mas Agus bisa diandalkan. Setelah turun dari angkot 05, perjalanan harus dilanjutkan dengan ojek. Satu tujuan, cepet sampe rumah, mandi, main mobil-mobilan sama Gilang.

Perasaan sudah gak enak pas baru naik. Motornya udah agak tua (perkiraanku motor Bravo 96). Firasatku bener, baru jalan 200-an meter, ban belakang motor kempes.... 'Kempes nih pak kayaknya, saya ganti ojek lain aja ya' sambil ngasih uang share bayar ongkos nambal ban. Belum selesai udah ada ojek lain yang datang. 'Kempes ya? Naik ini aja deh'. Deal.

Perjalanan pun berlanjut dengan ojek yang lain. Supra X 125, sepertinya masih belum genap satu tahun. Strip sticker-nya masih lengkap, kaca spion terpasang dua-duanya, tidak banyak terlihat lecet di bodi. Pergantian yang mantap, kataku dalam hati.

Tiga-empat polisi tidur dilalui dengan baik. Tapi setelah kira-kira 2 km, terasa ada yang kurang enak dudukannya. Kempes lagiiiiiiiiiiiiiiiiii....

Dalam hati aku bilang, ini pasti bukan kebetulan. Pasti ada yang salah. Dari informasi beberapa teman (thx yang udah ngasih jawaban ya...), rata-ratanya naik ojek setidaknya kempes dalam 1/300 kali naik. Kalau dalam satu hari kempes berurutan dan tidak ada apa-apa, maka peluangnya 1/90000.

Pasti ada yang salah. Apa badanku sudah terlalu berat untuk duduk di belakang tukang ojek? Paling gak seminggu setelah itu, aku menghindari ojek dulu.

Thursday, July 19, 2007

Sekarang Giliranmu

Majalah BOBO Junior bulan kemarin menyediakan bonus berupa lembar permainan Bobumba. Permainan ular tangga namun mengambil karakter dari opera theatrical Bobumba yang grup Bobo mainkan. Ini pertama kali permainan ular tangga diperkenalkan pada anakku, Gilang. Lempar dadu, melangkah sebanyak yang ditunjukkan oleh dadu, ikuti petunjuk di petak kalau ada, yang sampe finish duluan dia yang menang. Yang kalah, kita corat-coret wajahnya pakai bedak. Paling tidak itulah aturan main di rumahku yang harus dipatuhi oleh aku, istriku, dan Gilang. Mainnya sebelum tidur malam, jadi yang kalah akan tidur dengan wajah ber-make-up ala ninja.

Hari pertama, istriku yang kebagian kena coret. Hari kedua, istriku dan Gilang cengingisan lihat tampangku. Hari ketiga, ada Pak Dhe dari Sindang Barang yang dateng ke rumah dan langsung jadi korban. Busyet…. Kapan si Gilang kena. Ini kan permainan yang udah aku kenal sudah 25 tahun, sementara Gilang baru kenal belum genap seminggu.

Hitunganku bilang, ya kalau dadu-nya memang setimbang, mestinya peluang jadi korban coretan dalam sekali main sama besar antar pemain.

Saat itu akhirnya tiba juga. Aku finish duluan, istriku finish kedua. Belum juga bedak diambil Gilang udah nangis. Katanya ‘Gilang gak mau kalah, bapak aja yang kalah’. Nah lho. Aku mau bilang, ya peluang kita kalah sama semua yaitu sepertiga. Tapi mana dia ngerti kalau aku bilang begitu. Mudah-mudahan dia segera ngerti (paling gak kalau dua tahun lagi masuk TK) kalau lagi main ada kemungkinan kalah ada kemungkinan menang. Dan tentu jadi ikhlas kalau pipinya dapat giliran dicorat-coret pakai bedak.

Monday, July 16, 2007

Survei… Seberapa Perlukah?

Dalam beberapa kesempatan, orang sangat ingin argumentasinya tidak terbantahkan. Senjata ampuh yang banyak digunakan….DATA. Ya, dengan mengajukan data, kemudian lawan berdebat gak bawa apa-apa, maka kita berada di atas angin. Kalau gak punya data bagaimana? Solusi yang sering dijadikan pilihan orang adalah survei. Tapi benarkah ini diperlukan, tidak adakah cara pengumpulan data lain?

Beberapa tahun lalu, aku jadi juri salah satu kompetisi jajak pendapat yang pesertanya siswa-siswi SMA. Namanya juga jajak pendapat, survei adalah kegiatan utama proses pengumpulan datanya. Tidak ingat betul dari SMA mana, salah satu kelompok peserta mengangkat tema kedisiplinan guru. Dalam salah satu pertanyaan di kuesioner yang mereka ajukan ke siswa di sekolah mereka adalah seberapa rajin guru datang ke kelas. Kemudian dari jawaban itu dia gunakan membuat kesimpulan tentang kedisiplinan guru.

Apa iya begitu caranya? Kenapa tidak digunakan daftar presensi guru yang ada di buku hadir kelas? Kenapa harus survei ke siswa untuk hal tersebut? Mana yang lebih valid hasilnya?

Barangkali kita perlu kaji ulang apakah benar survei-survei yang kita akan selenggarakan memang diperlukan. Apa iya untuk menghitung berapa banyak pemilih di DKI yang tidak terdaftar diperlukan survei? Kalau memang data pemilih dan data penduduk itu data publik, apa tidak bisa dihitung dari data itu saja?

Promosi Statistika Lewat Pertandingan Bola

Beberapa tahun lalu, terkadang agak ragu pada saat seseorang menanyakan jurusan kuliah apa yang aku ambil. Betapa tidak, begitu aku sebut Jurusan Statistika tidak sedikit yang nanya lagi, “statistika itu apa?” atau malah mengulang pertanyaan “jurusan apa?” (sambil terlihat seperti belum pernah denger kata statistika).

Sekarang enggak lagi. Terima kasih pada televisi yang banyak nayangin siaran langsung sepak bola. Paling enggak ada dua kali kata statistik muncul, yaitu pas istirahat setelah babak pertama dan pas pertandingan berakhir. Ya…. minimal sudah semakin berkurang orang yang belum pernah tahu kata statistik.

Hebatnya lagi, para komentator sepakbola kita sudah sedemikian mahir memberikan ulasan terhadap statistik pertandingan yang ditampilkan. Banyak fakta yang dapat mereka ungkapkan dari angka-angka tersebut. Komentar mereka tidak lagi sekedar ‘kayaknya stamina para pemain sudah habis’, atau ‘pertahanan kesebelasan ini buruk sekali’.

Tapi…. kemarin ada seorang bapak-bapak ngajak ngobrol
‘ Kerja dimana?’, aku jawab ‘di IPB, pak’.
‘Bagian apa?’, dengan pe-de aku jawab ‘di Departemen Statistika’
Lalu beliau bales ‘oh…. yang buat ngitung-ngitung pelanggaran di sepak bola itu ya…’
capeeeee dehh.

Ilmu Titen dan Telaten

Ada yang sempet baca Koran Kompas hari Sabtu kemarin (14 juli) gak ya? Ada cerita tentang Pak Suwarman, pegawai Dinas Perikanan DI Yogya, yang menghasilkan look-up table yang dia sebut Pranata Mangsa. Isinya adalah, pada bulan tertentu dengan ciri-ciri cuaca tertentu, dapat dilihat di tabel itu ikan apa yang lagi banyak ada di laut sekitar Yogya. Dengan tabel itu, nelayan bisa tahu alat apa yang sebaiknya mereka bawa yang pas untuk nangkap ikan yang lagi ada di laut.

Gimana Pak Suwarman dapat tabel itu? Katanya sih dia pakai ilmu titen, yang tidak lain adalah menghapal apa yang dia lihat dan alami. Tabel itu jadi setelah 11 tahun.

Hebat juga ya Pak Suwarman. Dia update tabel itu setiap saat, begitu hasil titen-nya dia salah. Kalau dikaitkan dengan proses data mining, tabel itu ya tidak lain adalah proses yang disebut association yang menghasilkan aturan if-then. Pak Suwarman dengan cerdik melakukan asosiasi antara bulan dan cuaca dengan jenis ikan di laut Yogya. Keren man..... Dan lebih keren lagi, karena tabel itu dapat feedback setiap tahun kemudian dia update. Learning process tuh namanya kalau di data mining. Cuma saja kalau di data mining yang belajar (to learn) adalah mesin/komputer, kalau dalam kasus ini ya Pak Suwarman.

Kalau dia bilang cuma mengandalkan ilmu titen. Saya sih bilangnya gak cuma itu yang dia gunakan, tapi juga pakai ilmu telaten...... Telaten banget kan selama 11 tahun nge-update tabel itu.