sekedar pet crepet

Monday, October 22, 2007

Selamat kepada TELKOMSEL

Saya masih ragu apakah Telkomsel tahu dengan pasti agama dari pelanggan pemegang kartunya satu per satu. Seingatku sih saya belum pernah memberikan data tersebut kepada Telkomsel (kartuku pra bayar).

Tapi surprise lho, beberapa hari kemarin, H+6 lebaran saya dapat SMS dari Telkomsel yang berisi ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri. Tahu juga dia kalau aku merayakan hari tersebut, batinku sambil bertanya-tanya darimana dia tahu. Telkomsel tentu tidak akan konyol kirim ucapan tersebut ke semua pelanggannya. Akan tidak menyenangkan bagi pelanggan non-muslim yang mendapat SMS tersebut.

Tebakanku mengarah ke satu hal. Telkomsel dengan cerdik menebak agamaku berdasarkan frekuensi SMS-ku satu atau dua hari menjelang lebaran. Menjelang lebaran aku memang kirim sekitar 250-an SMS ke nomor yang ada di address book HP-ku. Logikaku mengatakan, kalau pelangganku kirim lebih dari 100 SMS dengan isi ucapan selamat hari raya Idul Fitri, hampir bisa dipastikan si pengirim juga ikut merayakan hari raya tersebut. Logika seperti itu memang dapat digunakan oleh Telkomsel, dan tentu dengan mudah Telkomsel dapat memanfaatkan data yang mereka miliki untuk itu.

Jika hal itu memang yang terjadi, dari lubuk hati yang paling dalam saya mengucapkan ‘selamat’ kepada Telkomsel yang dengan sukses mampu menggunakan kemampuan data-miningnya. Meskipun kalau boleh usul, ya jangan sampai kirimnya di H+6 dong. hehe.

Sunday, October 14, 2007

Politik dan Statistik

Bulan ini suasana politik kembali marak. Banyak pihak yang siap-siap menyambut Pemilu 2009, yang padahal masih cukup lama. Setelah Megawati menyatakan siap naik kembali, terus Sutiyoso mengajukan diri bersedia masuk bursa calon presiden, orang bertanya-tanya siapa lagi nih yang mau daftar. SBY kumaha? Jusuf Kalla mau gak? Sultan HB ikutan juga kah?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut melayang ke berbagai partai, beberapa pengamat politik, bahkan ke orang-orang biasa yang gak ngerti politik. Partai-partai tampaknya sepakat untuk mengandalkan hasil survey. Tidak sedikit pimpinan partai bilang, “kalau kita sih berdasar pada survey saja, siapa yang paling banyak didukung rakyat ya itu yang kita usung”.

Luar biasa… sedemikian percayanya mereka dengan hasil survey. Dalam hati tentu saya senang karena statistik mendapat tempat yang begitu terhormat. Patokan utama partai menentukan calon presidennya, hebat kan.

Tapi…tapi… saya juga sudah membayangkan suatu hari ketika calon yang mereka unggulkan dan memberi kontribusi dana yang besar kepada mereka ternyata tidak didukung oleh hasil survey mereka akan bilang, “wah gak independent tuh surveinya, gak representatif respondennya…..”

Dasar politikus. Bagi mereka apa yang dikatakan statistik seperti apa yang dikatakan oleh tukang ramal. Kalau tukang ramal bilang besok akan dapat untung, maka dia senang dan percaya. Tapi kalau tukang ramal bilang besok hari sial, dia bilang “ah, tenang saja, belum tentu benar”.

Naik Haji

Layar televisi sedang menayangkan program di MetroTV dengan gambar orang naik onta, binatang yang belum pernah dilihat secara langsung oleh Gilang.
Gilang : Orang itu naik apa.
bagusco : Itu namanya onta. Di Arab itu le…
Gilang : Arab dimana?
bagusco : ya nanti kamu tau kalau pas naik haji
Gilang : emang haji itu mobil ya, kok dinaikin
bagusco : wok-wok...

Mengabaikan atau Mempelajarinya?

Beberapa tahun lalu saya berkesempatan berdiskusi dengan salah satu peneliti dari Balitbang Departemen Hukum dan HAM RI. Sudah dapat ditebak kalau penelitian beliau selama ini selalu bersifat kualitatif. Jauh dari ‘hingar-bingar’kuantitatif. He..he…

Pada kesempatan tersebut terlontar oleh beliau bahwa pekerjaan analis data yang mengandalkan teknik statistika menggunakan konsep berseberangan dengan yang beliau gunakan. Menurutnya, statistisi tidak suka jika ada data yang aneh dan cenderung mengabaikan, membuang, memberi bobot kecil, dan sebagainya. Namun kalau peneliti hak asasi manusia, justru sangat tertarik dengan data yang demikian. Kejadian ekstrim akan menarik untuk diangkat oleh peneliti hak asasi.

Ada benarnya juga sih apa yang beliau katakan. Tapi tentu saja tidak mutlak demikian. Pada saat kita menggunakan data untuk melihat gejala atau fenomena umum di masyarakat, demikian itulah yang menjadi pilihan. Meskipun adanya statistik yang robust terhadap data ekstrim dapat digunakan tanpa harus membuang data tersebut. Namun, ya, memang tetap saja yang kita bicarakan fenomena umum.

Apa memang data ekstrim gak ada gunanya bagi orang statistik? Terlalu berlebihan saya kira kalau mau disebut demikian. Analis tetap harus tertarik untuk membuka tabir kenapa ada sedikit orang dengan data ekstrim. Semestinya tidak serta merta kita putuskan bahwa data sebuah rumah tangga beranggotakan 4 orang dengan rata-rata konsumsi beras 15 kg per hari adalah tidak wajar. Mungkin saja dia punya warung makan, atau dia menyediakan makan buat tetangga-tetangganya.

Mengingat kembali diskusi dengan bapak peneliti HAM tadi senantiasa mengingatkan saya untuk berpikir: mengabaikan/membuang ataukah mempelajari kembali data-data ekstrim. Membuang atau mempelajari/menyelidiki data ekstrim ini juga jadi salah satu tahapan wajib penggunaan statistical control chart dalam penerapan Six Sigma.