sekedar pet crepet

Monday, September 24, 2007

Karena mereka temanku

Kumpul-kumpul tentu bukan kegiatan baru buatku. Sama temen sekolah, temen kerja, atau temen kuliah dulu... ayo lah. Kalau jadwal pas sih diusahakan sekuatnya lah.

Bulan puasa, tentu banyak ajakan kumpul buat buka bareng. Dan juga jadi tuan rumah buka bareng. Wuis pokoknya keliling lah.

Cerita punya cerita, salah satu teman nanya. "kalau anak-anak 32 masih sering kumpul ya". Aku jawab, "lumayan lah, insya Allah entar ngumpul di tempat Ghozali".

"Banyak gak yang datang. Kalau angkatanku sih itu-itu saja. Jadi males". Kenapa males? Gak ada ruginya kan ngumpul sama temen-temen kuliah dulu. Paling gak pasti nambah pinter setelah itu. Anakku juga nambah temen.

"Kok mau sih rajin-rajin dateng, sementara yang lain gak rajin". Karena mereka temanku, dan biarkan tetap seperti itu.

Berkorban demi Cita-Cita

Semua orang kayaknya sih pasti punya cita-cita. Kalau ada yang bilang 'enggak punya' mungkin hanya karena malu menyebutkan atau gak sadar kalau sebenarnya dia punya. Anakku aja udah punya cita-cita pengen punya mobil Panther, gak tahu kok kenapa begitu cita-citanya.

Aku... jelas punya cita-cita. Malah banyak, gak cuma satu. Tapi karena itu cita-citaku, pengen banget harus terwujud. Secepatnya kalau bisa. Pengennya sih gak ada yang menghalangi, gak ada yang mengganngu, banyak yang bantuin. Tapi kayaknya gak selalu begitu. Halangan tetap ada, yang bantuin ada juga sih cuma gak banyak. Apa harus mundur? Tidak lah yaw. Maju terus.

Saya punya keyakinan. Sebagian tenaga memang harus disisihkan. Beberapa rupiah harus hilang. Tidak sedikit kesempatan terpaksa harus dilepaskan. Wajar lah untuk hasil yang menjadi cita-cita tadi.

Tampaknya keyakinan juga jadi keyakinan banyak orang. Kemarin aku dengar cerita ada seorang sanak yang harus rela keluar beberapa puluh juta untuk lolos jadi tamtama. Seorang guru harus melepas beberapa juta untuk diangkat jadi kepala sekolah. Katanya sih udah diitung-itung, pasti untung. Ah... apa iya itu pengorbanan yang semestinya.

Tuesday, September 18, 2007

Ganti Nama Aja

Puasa udah masuk hari kelima. Persiapan menjelang lebaran pun sudah mulai digelar. Tidak terkecuali supermarket dan minimarket yang bertebaran di kota ini. Berbagai cara mereka gelar. Diskon gedhe-gedhean. Double discont. Wis pokoknya macem-macem lagi yang lain. Yang juga dilakukan adalah memberikan iming-iming undian. Lucky draw gitu lah. Belanja 50 ribu dapat satu kupon undian, berlaku kelipatan. Ada juga minimarket yang menawarkan kupon seharga 25 ribu belanjaan.

Tidak sedikit kupon yang diperoleh salah satu teman. Sepertinya habis ngeborong di awal ramadhan ini. ‘Pinjem pulpen dong, mau ngisi kupon undian nih’. Tinggal tulis nama, alamat, plus nomor KTP atau kartu identitas lain yang berlaku. Sobek kuponnya, simpan satu bagian, masukkan bagian lain ke kotak undian, tunggu beberapa bulan, lihat pengumuman. Sederhana begitu saja urutannya.

Di tengah-tengah proses pengisian kupon, sambil setengah berteriak, ‘wah kenapa pakai namaku, mestinya pakai nama suami nih. Berkali-kali pakai namaku gak pernah tembus’.

Lho…. Apa benar nama menentukan peluang terpilih undian? Kata sebagian orang nama itu doa. Kalau mau gampang dapat undian, coba deh pakai nama ’Untung’, ’Bejo’, ’Luki’, atau yang sejenis itulah. Meureun...... Ganti nama aja kalau merasa namanya bukan nama mujur.

Friday, September 14, 2007

Metode pengukurannya bagaimana?

Kemarin sore, hari pertama ramadhan 1428 H. Jangan sampe pulang kemaleman, biar bisa buka puasa pertama bareng-bareng di rumah. Sambil nunggu maghrib, jalan-jalan bentar sama Gilang keliling blok. Habis lewat perempatan pertama, dia nanya. "Kok temboknya tinggi amat Pak? Yang ini kok pendek", sambil nunjuk tembok samping rumah tetangga.

"Oh, itu rumahnya dua lantai Le".
"Kalau rumah Gilang, lantainya ada berapa", lanjut lagi pertanyaannya.
"Cuma satu". Stop. Jalan lagi. Ganti topik lagi.
Lima belas menit udah sampe lagi di rumah. Gak bisa lama-lama, soalnya mendung kayaknya mau berganti hujan.

Baru sampai rumah, "Pak, ini kan lantai, terus yang di kamar gilang itu kan juga lantai. Jadi rumah Gilang lantainya ada dua Pak". Walah... Gimana mau ngomongnya?

Satu atau dua itu kan nilai/level dari sebuah variabel. Memang yang harus didefinisikan ya bagaimana menentukan level itu. Ini bicara metode pengukuran.

Lebih runyam lagi kalau nanti dia bisa baca spanduk iklan ruko di sekitar Jalan Baru Kemang. Terpampang besar bertuliskan "DIJUAL. RUKO 3 1/2 LANTAI".

Terus kemarin ada temen yang cerita, pas ada gempa Sumatera dia berada di Lantai 24 gedung kantornya. Tapi buru-buru meralat, "Sebenernya sih lantai 23, wong lantai 13-nya gak ada".

Friday, September 07, 2007

Sisa tahun ini musti produktif

Lama juga gak ngisi lagi web-log ini. Bulan kemarin banyak banget yang harus dikerjakan. Kalau gak ada temen yang nanya apa alamat blog-ku, gak kepikiran juga kalau punya. Dasar...

Setidaknya ada berita gembira bulan kemarin. Proposalku dua-dua-nya tembus dan akan didanai. Satu proposal untuk pengembangan metodologi pembelajaran Aljabar Matriks. Satu proposal lagi buat penelitian regresi logistik spatial. Deadlinenya pertengahan November. Musti kelar dua-duanya. Seneng karena proposal lolos, cuma harus mikir bagi waktunya. Coba kita lihat, kali aja ada yang mau bantuin

Perkiraannku dua-duanya akan makan waktu kerja 15 jam per minggu.
Ngajar sampe bulan November 5 jam per minggu.
Bimbingan skripsi dan tesis (ada 10 orang nih semester ini). Let's say satu orang 1 jam, jadi 10 jam per minggu.
Bimbingan kemahasiswaan. Paling 4 jam per minggu.
Nyipain bahan ngajar, nyiapin paper buat jurnal+seminar, 5 jam per minggu.
Chating dan rapat sama berbagai kolega, efektif 10 jam per minggu.
Udah berapa tuh, 49 jam!!!

Padahal kerja 5 hari @ 8 jam = 40 jam. Busyet. Untuk urusan di atas saja, musti lembur. Sabtu masuk juga? Bentar lagi kan ramadhan. Masak bulan ramadhan pulang malam terus?

Tapi kok masih bisa nulis di blog ya. Tapi kok masih bisa ngobrol ngalor-ngidul ya. Tapi kok masih bisa makan siang bareng bobotoh di Jakarta. Salah hitungkah? Ah Tuhan memang maha adil dan pemberi nikmat. Yang jelas, sisa tahun ini musti produktif. Biar semua bisa optimal terselesaikan.